Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Dzulhijjah, sedangkan
puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Dzulhijjah. Puasa
sunnah itu berdasarkan dalil berikut :
Dari Abi Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Puasa hari Arafah menghapuskan
dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa
Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari
dan Tirmizy)
Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjjah) ini disepakati sunnah bagi yang
tidak menunaikan haji. Sedangkan bagi yang wukuf di Arafah hukumnya
diperselisihkan dikarenakan dalil yang melarang puasa bagi jamaah haji
yang wukuf dipermasalahkan.
1. Haram Puasa Bagi Yang Wukuf
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali
bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No.
749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari
‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.” (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu
Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan
Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak
No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al
Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya
dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu
Khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
2. Boleh Berpuasa Meski Wukuf
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi
hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi
Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan: Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,”
mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan
pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in
mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti
karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi –
dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui)
keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata: Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya
berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: Isnadnya dhaif, karena
ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu
Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya),
dia (Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan,
pen). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah
imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang
majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu
Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam
Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu –
saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Dalam isnadnya ada yang perlu
dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang
dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam
Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih larangan
berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Tidak ada yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9
Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Rasulullah Wukuf dan Tidak Berpuasa Arafah
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ
مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi
Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan
kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan: Telah diriwayatkan dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang baik, bahwa
Beliau belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di sana,
dan tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari
itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka
di ‘Arafah. Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut:
Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari ‘Arafah
ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An
Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di ‘Arafah
tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa ketika
sedang di ‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu,
kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah
diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula
ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya, tetapi
juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di ‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع
النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه وحججت مع
عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى
عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau
menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau
tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya
haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia
juga tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak
memerintahkan dan tidak melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh
Husein Salim Asad berkata: isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa ‘Arafah bagi
jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan mereka
berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa: Ada
pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah, tetapi
disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat
untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. (Ibid, 3/24) Jadi,
menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak
boleh.
Pendapat Empat Mazhab: Makruh Puasa Arafah Bagi yang Wukuf
- Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah, begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
- Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.
- Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah
siang hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika
pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah
musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka.
- Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari
‘Arafah jika wuqufnya malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya
siang maka makruh berpuasa.
Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah)
Puasa khusus tanggal 8 Dzulhijjah sebenarnya tidak ada, yang ada
adalah dalil puasa 8 hari bulan Dzulhijjah. Dalilnya adalah sebagai
berikut :
Dari Hafshah Radhiyallahu ‘Anha berkata,
“Empat hal yang tidak
pernah ditinggalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: [1]
Puasa hari Asyura, [2] Puasa 1-8 Dzulhijjah, [3] tiga hari tiap bulan,
dan [4] dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Menurut Syaikh Musthafa Al Adawi, ada dua hadits berkenaan dengan puasa 10 hari di awal Dzulhijjah secara khusus:
- Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang dikeluarkan oleh Muslim yang redaksinya, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
- Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur
seorang rawi yang bernama Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia
meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata, “Empat hal yang tidak
pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
(diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
Menurutnya, pernyataan Hunaidah pada riwayat ini diperselisihkan
oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari Ummu
Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu Salamah
secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari
bentuk-bentuk yang berbeda!”
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul –Wallahu Subhânahu wa Ta’ala
A’lam- bahwa hadits ‘Aisyah yang terdapat di dalam shahîh Muslim adalah
lebih shahîh, sekalipun padanya terdapat bentuk perselisihan dari Al
A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan dua hadits
tersebut yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari
beliau, bagi yang tidak menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang
menyaksikan menetapkan keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam
(hanya) satu malam. Maka atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika
seseorang terkadang berpuasa dan terkadang tidak berpuasa, atau ia
berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa beberapa tahun (berikutnya)
ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat tersebut diamalkan maka ia
telah memiliki salaf (pendahulu).”